Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Merayakan Keimanan, Kedermawanan, dan Toleransi Tue Sep 30, 2008 3:54 am | |
| Merayakan Keimanan, Kedermawanan, dan ToleransiOleh Chaider S Bamualim Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Research Fellow di NUS Singapura Setelah berpuasa sebulan penuh, umat Islam akan merayakan Idul Fitri dengan suka cita. Secara simbolik, Idul Fitri berarti pernyataan kembali ke fitrah. Tetapi, fitrah seperti apakah yang ingin dirayakan? Jawabannya tentu sangat terkait dengan bulan Ramadan, di mana takwa menjadi tema sentralnya.
Tema yang acapkali dikhotbahkan di mimbar Ramadan maupun Idul Fitri, tapi toh kita tak kunjun menyaksikan hadirnya model takwa dalam realitas sosial. Yang ada hanya Ramadan dan Lebaran berlangsung berulang setiap tahun, diakhiri dengan salat Idul Fitri.
Sebagian umat berhasil mengisi kekosongan spiritualnya sejenak dengan khusuk, sebagian hanya lapar, menghamburkan uang dan berhura-hura, sebagian lagi menikmati bisnis Ramadan dan Lebaran dengan senang.
Tiga Makna
Idul Fitri sebagai muara prosesi Ramadan, mengandung tiga makna penting, yakni keimanan, kedermawanan, dan toleransi. Ketiga aspek ini harus dirayakan secara bersama.
Dasar moralnya adalah perintah takwa yang juga menjadi obsesi Ramadan. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa puasa diperintahkan supaya "kalian bertakwa" (Q:2:183). Secara harafiah, takwa berarti "takut kepada Allah".
Al-Quran acapkali mengaitkan takwa dengan beberapa hal lainnya, yakni iman dan salat, infak, mengekang amarah, serta memaafkan sesama. Berimbang dan koheren antara aspek langit dan bumi, antara teosentrisme dan antroposentrisme. Koherensi yang apik antara keimanan, kedermawanan, dan toleransi.
Nilai-nilai inilah yang lazim menjadi landasan moral dan sikap kaum muslimin pasca-Idul Fitri. Secara individual, banyak kalangan Islam memahami dan mengamalkan moralitas itu dengan baik, namun secara kolektif, fondasi penting ini masih berfungsi sebatas retorikal dan belum menjelma dalam tradisi dan etika sosial umat Islam.
Keimanan dan Toleransi
Keimanan atau ketakwaan terkait erat dengan perintah mengekang amarah (Quran: kazim ghaidh) dan memaafkan sesama manusia (Quran: 'afina 'aninnas). Saya formulasikan keduanya dalam istilah toleransi atau juga sabar.
Pesan ini jelas dan kuat. Tapi di sini pula terletak kontradiksi dalam masyarakat. Misalnya, sering kita menyaksikan kekerasan atas nama agama pada bulan Ramadan ataupun di waktu lainnya. Ini paradoks dan kontradiktif! Kekerasan menunjukkan tidak toleran dan tidak sabar dalam beragama. Kekerasan juga menunjukkan kepribadian yang lemah dan ketidakberdayaan.
Keimanan adalah percaya dan berserah diri kepada Tuhan. Orang beriman harus sadar bahwa dia beriman kepada Tuhannya karena tidak percaya zat selain Dia. Imannya terbentuk karena ketidakpercayaaan (pada yang lain). Selalu ada dialektikal, sebuah proses yang dinamis.
Rasulullah menyatakan iman, itu fluktuatif, bisa naik, bisa turun, dan bahkan sirna. Artinya, orang beriman bisa saja berubah menjadi kafir. Sebaliknya orang kafir suatu saat bisa beriman bila Tuhan memberinya petunjuk (hida- yat).
Karenanya, realitas yang kafir di luar kita adalah misteri. Artinya, kita tidak boleh melihatnya secara apriori. Hanya Tuhan yang Mahatahu dan berhak membuat mereka beriman, membiarkan mereka kafir, atau menghukum mereka.
Bukan hak kita memaksakan mereka beriman atau menjalankan syariat, apalagi dengan paksaan atau kekerasan. Ini sikap keimanan yang tidak toleran. Kontradiktif dengan spirit takwa, yakni mengendalikan amarah. Atau juga prinsip menjalankan syariat yang menghendaki niat tulus dan ikhlas.
Syariat hanya bermakna apabila dijalankan dengan niat baik dan ikhlas, dengannya seseorang berhak mendapatkan pahala. Adapun, orang yang tidak beribadah, katakanlah tidak berpuasa, hanya Tuhan yang berhak menghukumnya, bukan manusia. Kecuali bila manusia ingin merampas hak-Nya.
Orang hanya bisa menganjurkan orang lain taat pada syariat dengan santun. Selanjutnya terserah. Itulah hakikat dakwah, mengajak orang lain dengan persuasif dan santun. Kesantunan merupakan moralitas dakwah yang hakiki. Berdakwah tanpa moralitas adalah sia-sia. Fitrah manusia itu sendiri adalah santun, toleran, dan condong kepada kebenaran (alhanifiyah samhah).
Karenanya, dengan fitrahnya manusia akan condong pada keimanan, apalagi bila ia dituntun dengan baik. Manusia cenderung menolak atau bahkan melawan apabila didekati dengan kasar. Tidak sulit memahaminya, karena kita dapat mengalaminya setiap hari.
Selain itu, prinsip iman, ikhlas, serta adanya pahala dan dosa, juga mengharuskan setiap Muslim beribadah de- ngan tulus tanpa menuntut penghormatan. Kebiasaan sebagian umat Islam yang menganjurkan orang lain menghormati mereka pada bulan Ramadan adalah tidak patut.
Sebagai sesama warga negara, lazimnya orang saling menghormati, tapi bukan meminta dihormati. Bahkan orang yang berpuasa pun berkewajiban menghormati mereka yang tidak berpuasa. Termasuk dalam kaitan ini, menghormati mereka yang mencari nafkah dengan berjualan makanan di bulan Ramadan. Sebab ada banyak orang yang tidak wajib berpuasa, terutama nonmuslim, termasuk muslim musafir, sakit, atau perempuan yang berhalangan. Mereka berhak mendapatkan makanan dari jasa dan layanan publik.
Dengan bersikap demikian, sama sekali tidak mengurangi mutu puasa seseorang. Seseorang yang niat berpuasa dengan iman dan ikhlas, dia tak akan mem- batalkan puasanya hanya karena orang lain berjualan makanan di sekitarnya. Dengan menghormati dan toleran terhadap orang yang tidak berpuasa, dengan sendirinya kita dihormati. Itulah prinsip resiprokal dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, termasuk dalam kehidupan keberagamaan kita. Sabar dan toleran merupakan inti keimanan.
Iman dan Kedermawanan
Titik sentral berikutnya dari Idul Fitri adalah keimanan dan kedermawanan. Secara sosial, kembali ke fitrah berarti juga bersedia berperan aktif menyejahterakan masyarakat guna mewujudkan tatanan sosial yang penuh rahmat. Dengan kata lain, keimanan yang transedental mesti melandasi relasi sosial, di mana setiap individu dan kelompok diharapkan peduli terhadap sesama, apalagi terhadap mereka yang kurang mampu.
Dasar moralnya adalah perintah berzakat dalam Alquran, dan teladan Rasulullah.
Tapi, selain harus berlandaskan keimanan, menjalankan perintah zakat harus berdasarkan akuntabilitas agar tidak mendistorsi misi, tujuan dan manfaat berzakat. Iman harus diikuti tata kelola pelaksanaan kebajikan (amal soleh). Tragedi zakat di Pasuruan beberapa waktu lalu, misalnya, contoh distorsi misi dan tujuan zakat. Gambaran keimanan dan kedermawanan tanpa akuntabilitas.
Berulangnya peristiwa distribusi zakat yang menelan korban dari tahun ke tahun, menunjukkan lemahnya pemahaman kita mengenai gagasan zakat. Zakat adalah ide tentang pentingnya peduli terhadap fakir miskin. Karenanya, secara substansial diskursus zakat mengandaikan redistribusi kekayaan kepada golongan lemah dalam masyarakat secara akuntabel. Ini mensyaratkan adanya komitmen moral, aturan main yang jelas, serta strategi pengorga- nisasian secara profesional dan bertanggung jawab, sebagai wujud ketakwaan dan akuntabilitas seorang muslim. Dengan keimanan, kedermawanan dan toleransi seorang muslim berhak me- rayakan hari raya karena ia berhasil "mudik ke fitrahnya" yang otentik.
Mudik dan Idul Fitri
Mudik, dalam kamus John M Echols-Hasan Shadily diartikan, home to the village; pulang kampung. Sebuah pesta khas tahunan yang dinantikan jutaan orang. Sebagai peristiwa budaya, boleh jadi mudik tak ada bandingannya sejagat. Selain penuh makna, mudik dirayakan dalam sesi Lebaran bersama kerabat de-ngan penuh haru dan ceria.
Tujuan sakralnya merajut kembali ikatan batin yang barangkali retak di tahun silam. Motif batin untuk silaturahmi membuat pelbagai hambatan di jalan, seperti macet, penat, serta berdesakan dalam kendaraan, tak jadi soal. Bagi pemudik, yang penting pulang dan sampai di rumah dengan selamat. Artinya, mudik harus dengan tekad. Tekad untuk pulang kampung, kembali ke asal muasalnya, kembali ke fitrahnya yang otentik sebagai sumber kebahagiaan hakiki untuk menjadi muslim yang fitri.
Dalam bahasa yang konkret, saya merumuskan Muslim yang fitri adalah yang beriman dan berserah diri kepada Tuhannya, peka, dan toleran. Ini juga relevan dengan sikap moderat Islam (din wasathan). Secara lebih terperinci, kembali ke fitrah berarti menjadi muslim yang beriman serta bertanggung jawab mewujudkan tatanan sosial yang sejahtera dan damai. Fitrah juga berarti suci bersih.
Dalam hadis, fitrah diartikan sebagai kembalinya manusia ke eksistensinya yang secara alamiah suci-bersih. Di sini terlihat jelas resonansi positif terhadap manusia. Jadi, gagasan Idul Fitri juga berkaitan erat de- ngan pandangan yang optimistis tentang manusia.
Almarhum Nurcholish Madjid sering menggunakan makna fitrah untuk menggambarkan Islam sebagai agama kemanusiaan (Madjid, 1991). Dengan demikian, mudik, pulang kampung, atau kembali ke fitrah, adalah wacana yang bermula dari keimanan dan individu sebagai titik sentral, tetapi bertujuan merestorasi martabat kemanusiaan sebagai titik sentral. Ini harus menjadi agenda kolektif umat Islam sejak hari ini.
Setelah berpuasa sebulan penuh disertai aktivitas sosial lainnya, seorang muslim harus bertekad mengintegrasikan nilai-nilai keimanan, kedermawanan, dan toleransi ke dalam dirinya. Bila enggan mengemban tugas moral ini, berarti ia gagal kembali ke fitrahnya. Kepribadiannya sebagai muslim merosot.
Adapun, bagi yang bertekad, mereka berhak merayakan Idul Fitri secara sukacita, merayakan keimanan mereka, me- rayakan kedermawanan terhadap yang lemah, dan me-rayakan toleransi di antara sesama umat manusia. Mari bersama-sama merayakannya! Selamat Idul Fitri. Minal Aidin Wal Faizin.
| |
|