IN MEMORIAM
Letjen TNI AD (Purn) Roekmito Hendraningrat
- Penumpas pemberontakan Permesta
[justify]TEPAT Hari Sumpah Pemuda lalu, kita kehilangan seorang putra terbaik: Letjen TNI (Purn) Roekmito Hendraningrat. Beliau meninggalkan jasa-jasa besar bagi ABRI, negara dan bangsanya. Kalau kita menarik waktu mundur 30 tahun dari sekarang, terasa sekali, betapa banyak dibicarakan namanya oleh pers, pemerintah dan para pemberontak.
Mari kita sejenak menghormati dan mengenang kepergiannya dengan melihat kurun 1958-1959, saat yang paling gemilang yang pernah dialami oleh Roekmito sebagai seorang prajurit ABRI. Bahkan mungkin dalam hidupnya.
Waktu itu negara kesatuan Indonesia sedang dilanda berbagai rongrongan daerah. Tuntutan dan keluhan mereka dipelopori oleh para tokoh sipil dan militer serta politikus kawakan. Mereka menuangkan segala tuntutan dalam suatu piagam. Bulan Februari 1957, di Ujungpandang (dahulu Makassar), lahir Piagam Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Setahun kemudian di Padang, berdiri negara tandingan, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tujuan mereka berkembang menjadi tuntutan negara terpisah dari RI. Pembangkangan ini dijawab pemerintah pusat dengan mengirimkan tentara untuk menumpas. Di Sumatera APRI (sebutan ABRI waktu itu) di bawah pimpinan Letkol Ahmad Yani berhasil menumpas pemberontakan. Sedang kekuatan pemberontak di Indonesia Timur diserahkan kepada Roekmito untuk menumpasnya.
Strategi Roekmito di Minahasa
SETELAH kekuatan PRRI lumpuh di Sumatera, kini pemerintah pusat tinggal memusatkan perhatian untuk menumpas kekuatan Permesta di wilayah Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah, Utara dan Maluku. Tugas ini dilancarkan dalam suatu operasi militer gabungan yang bernama Merdeka. Operasi ini terdiri dari operasi Sapta Marga I - IV serta Mena I - II. Seluruh operasi tersebut dipimpin oleh Roekmito, yang saat itu menjabat Asisten II KSAD.
Dalam pelaksanaannya, operasi ini memang cemerlang. Dalam tempo dua pekan, basis-basis pertahanan pemberontak di wilayah ini direbut tentara pusat. Letkol Soemarsono memukul pimpinan pemberontak, Letkol D J Somba di Parigi dan Toboli, Sulawesi Tengah. Mayor Agus Prasmono dan Kapten Piola Isa merebut sektor Gorontalo, Sulawesi Utara dalam operasi Sapta Marga II. Bersama Mayor Makaminang, Letkol E J Magenda menduduki Sangihe Talaud, tanpa perlawanan pada operasi Sapta Marga III. Sedang satuan-satuan dari Pattimura merebut kembali Morotai dan Jailolo, di bawah pimpinan Letkol Herman Pieters dan Letkol (L) Hunholz. Langkah selanjutnya, menyerbu daerah Minahasa, benteng terakhir Permesta. Tugas ini dipercayakan pada Roekmito.
Pimpinan pemerintahan sipil Permesta di Sulawesi Utara, Letkol Joop Warouw sadar sewaktu saat tentara pusat di bahwa komando Roekmito akan mendarat di Minahasa. Ini melihat kekalahan demi kekalahan yang dialami Permesta. Sebelum penyerbuan besar-besaran, Roekmito di Minahasa 22 Mei 1988, satu skuadron Mustang AURI di bawah komando Mayor Udara Leo Wattimena telah menghujani mortir basis kekuatan AUREV (AU-nya Permesta) di Mapanget, Manado dan di Tasuka. Hasilnya: 3 Mustang, 2 Lockheed di Tasuka dan sebuah Catalina di Mapanget, semua milik Permesta, hancur.
Bagaimana benteng terakhir Permesta di Minahasa?
Wilayah ini disulap menjadi benteng pertahanan yang amat tangguh. Tak ada lapangan terbuka yang dibangun, seluruh pesisir pantai, tikungan jalan dan perbukitan strategis dibangun kubu senjata otomatis. Puluhan meriam penangkis serangan udara dipasang mengelilingi Lapangan terbang Mapanget dan Tasuka. Kubu-kubu bekas KNIL dan Jepang di masa Perang Dunia II dihidupkan kembali. Sumber logistik terjalin teratur. Kantong-kantong pertahanannya dapat berfungsi mandiri, agar dijamin mobilitasnya. Pertahanan ini benar-benar sangat teratur dan dapat dipersiapkan menyesuaikan diri dalam jenis peperangan yang dibawakan Roekmito kelak. Pendek kata, daerah Minahasa menjadi daerah "jangan coba-coba" bagi tentara pusat. Dan benar-benar dipersiapkan untuk suatu perang gerilya jangka panjang, sambil menunggu perkembangan politik di dalam dan luar negeri, yang siapa tahu, mendorong semangat tempur mereka.
Benteng pertahanan pun dibangun kokoh oleh Permesta. Terutama di dataran tinggi melilit Danau Tondano. Daerah ini sangat ideal bagi pertahanan. Karena terletak kota-kota penting seperti Tondano, Langoan, Tomohon dan Kawangkoan. Benteng pertahanan lain dibangun di Tonsea Lama (di utara antara Tondano-Airmadidi), jalan raya Manado-Tomohon (sekitar Pineleng-Tinoor), antara Tomohon -- Tanahwangko. Kemudian di Minahasa Selatan, daerah baratdaya Amurang dan di barat Langoan. Ini merupakan basis pengunduran kedua, bila terjadi perkembangan yang tak menguntungkan pada sektor pertahanan pertama. Juga dibangun perkubuan sekitar lereng gunung Klabat, untuk dapat menyusupkan satuan-satuan gerilya yang mampu menggangu lapangan terbang Mapanget, pelabuhan Bitung dan jalan raya Bitung-Manado. Maksudnya untuk menghalangi Roekmito memanfaatkan sarang tersebut serta menutup Manado dari arah pedalaman. Pokoknya pertahanan yang disusun Warouw adalah mencegah kekalahan menyeluruh.
Mari kita lihat bagaimana strategi Roekmito menghadapi benteng pertahanan terakhir Permesta ini. Saat itu, sejumlah perwira menyarankan agar pendaratan besar-besaran dilakukan di dua tempat pada waktu bersamaan. Tempatnya di Amurang dan di Belang, sebelah selatan Minahasa. Kedua jari-jari ini harus dapat menggunting daerah Minahasa dari utara ke selatan. Sehingga dapat mencegah pengurangan pasukan pemberontak, yang nantinya menggiring mereka ke daerah minus, di utara, lalu menaklukkannya.
Namun gagasan ini kurang menarik Roekmito. Alasannya, (1) kedua pantai yang diusulkan sangat sempit dan terletak pada teluk yang tak lazim menjadi tempat pendaratan besar-besaran; (2) peralatan komunikasi tak terdapat di wilayah tersebut; (3) lapangan terbang yang vital terletak cukup jauh; (4) tak ada pasukan cadangan siap siaga yang dapat dikerahkan untuk menjaga kemungkinan pemberontakan menekan serbuan; (5) medan cukup sulit dan berat serta (6) kerugian besar akan jatuhnya korban pada pihak APRI.
Menurut Roekmito, pendaratan terbaik adalah di Kema, pantai timur Minahasa. Pendek kata, prinsip usul para perwira sama dengan prinsip Roekmito sendiri. Yakni, memusatkan anak panah ke tengah-tengah dataran tinggi Minahasa. Penguasaan daerah ini berarti menguasai basis suplai dari manapun juga. Taktis kedua pola itu, lebih banyak menitikberatkan pada kemenangan militer operasional.
Hari-H sudah ditentukan: 16 Juni 1958. Senin pagi, pukul enam, Roekmito mulai pendaratan besar-besaran bersama pasukan KKO (Korps Komando) di pantai Kema, sekitar 30 km dari Manado. Pendaratan ini dipimpin Kol.KKO Suhadi, sedang Roekmito pada operasi darat. Setelah kota Bitung jatuh, komando operasi beralih ke tangan Roekmito.
Pendaratan diawali dengan pemboman dari kapal-kapal perang selama kurang lebih tiga jam. Lalu pukul lima pagi, pesawat-pesawat tempur membersihkan kubu-kubu pertahanan pemberontakan. Perlawanan pemberontakan tak seberapa. Ketika Roekmito melakukan gerak tersamar. Dua hari sebelum pendaratan, Roekmito mengirimkan satu regu RPKAD melalui Wori. Ini untuk memukul pemberontak dari punggung. Satuan itu bergerak memotong hutan dan gunung tersu tiba di lapangan Mapanget. Secara silent, mereka menyerang Mapanget menjadi lumpuh. Ini logis bila pemberontak terkejut dan khawatir, bila mereka ditikam dari lambung oleh Roekmito. Tapi ternyata, gerakan RPKAD itu, hanya gerak samar, untuk mengelabui pendaratan pasukan inti di Kema.
Setelah pendaratan, KKO langsung menutup simpang tiga jalan raya Airmadidi-Kema-Bitung. Penguasaan simpang ini mrupakan kunci pengendalian setiap gerakan pemberontak, yang datang dari arah manapun untuk mencoba menghadang satuan-satuan Roekmito. Gerakan langsung menuju dan menduduki Bitung, yang vital untuk mendaratkan suplai. Lalu menuju ke barat. Dan ajang pertempuran pun mulai dimulai.
Permesta telah melakukan kesalahan fatal. Ini berawal dari komunike Warouw, bahwa jumlah tentara pusat yang akan mendarat berkisar satu divisi. Pernyataan ini dikutip pers barat. Padahal Roekmito hanya berkekuatan 4.000 prajurit. Kesalahan Warouw ini mirip dengan MacArthur, yang mengira pasukan Jenderal Masaharu Homma, komandan Tentara XIV Jepang di Filipina, akan mendarat dengan kekuatan 80.000 sampai 100.000 prajurit di Teluk Lingayen. Padahal, Homma hanya memiliki kekuatan 65.000 prajurit. Sehingga MacArthur enggan mengambil resiko menghadapi Homma. Jadi Warouw tak berani melakukan pertempuran menentukan di Kema untuk menghancurkan Roekmito. Tapi kesalahan ini dapat dipahami, karena pasukan Roekmito telah melakukan gerak samar di Wori.
"Komunike Warouw itu," kata Roekmito, "merupakan bantuan tak ternilai bagi keuntungan psikologis saya." Memang pernyataan itu menimbulkan rasa inferior pada pihak pemberontak.
"Kecemasan saya," tambahnya, "melenyap dan kini saya dapat memikirkan pada operasi-operasi masa mendatang dengan tenang.
Dua hari setelah pendaratan, Roekmito menduduki Airmadidi dan Tonsea, kota penting 18 km dari Manado. Dari sini, dapat mengendalikan simpang empat Manado-Kema-Bitung-Tondano. Dalam hal ini Roekmito melakukan pengelompokan kembali untuk melaksanakan pola strateginya semula, yakni bergerak langsung menusuk pusat pertahanan pemberontak di daratan Minahasa, melalui Airmadidi ke arah Tondano dan seterusnya.
Ternyata gerakan pasukan di medan laga terjalin dengan perjuangan politik Kabinet Djuanda.
Pda 22 Juni 1958, KSAD Nasution di hadapan wartawan Jepang, bahwa dalam satu atau dua hari lagi, Ibukota pemberontak (Manado) akan diduduki tentara pusat. Pernyataan Nasution itu membawa pengaruh jauh pada taktis operasional di Minahasa. Nasution berbicara sebagai alat strategi politik kabinet. Sehingga mempunyai otoritas yang tinggi sekali. Dan lagi, Nasution berbicara sebagai militer sejati. Ketika itu, Roekmito sudah menggerakkan konsentrasi pasukannya ke Tondano, dataran tinggi Minahasa. Tapi mendadak Roekmito melakukan switch dan memindahkan spearhead-nya ke Manado. Mengapa ini dilakukan Roekmito?