Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Negara Pragmatis? Thu Nov 20, 2008 5:01 pm | |
| Negara Pragmatis? Todung Mulya Lubis Banyak orang berkata bahwa robohnya Tembok Berlin telah membuat kapitalisme-liberalisme (dan neo-liberalisme) hadir sebagai pemenang, dan tak ada ideologi lain yang bisa melawannya. Dan memang, dengan revolusi teknologi yang maha dahsyat dan masuknya pasar bebas ke semua negara termasuk negara-negara bekas komunis membuktikan bahwa ideologi sosialisme-komunisme tengah terdesak ke ambang kebangkrutan.
Tiongkok dan Rusia dalam banyak hal sudah seperti kepanjangan pasar global, yang tak lagi terpisahkan. Mungkin hanya Korea Utara dan Kuba yang masih mencoba bertahan di samping negara-negara otoriter, seperti Myanmar, yang dikelola dengan sistem ekonomi negara yang ketat.
Meskipun kapitalisme-liberalisme (neo-liberalisme) sepertinya memenangkan pertarungan ideologi ini, bukan berarti tak ada perdebatan. Perdebatan itu tidak gemuruh dan gegap gempita. Sekarang, tak ada tokoh raksasa, seperti: Mao, Soekarno, Tito, atau Stalin. Perdebatan itu berlangsung dalam ruang-ruang politik di berbagai negara yang secara prinsipil bertanya tentang kenikmatan yang didapat rakyat banyak dari sistem ekonomi pasar. Keuntungan berlimpah, yang dinikmati oleh pemodal dan kapitalis domestik dan internasional, tetap menyayat rasa keadilan dan solidaritas rakyat. Fakta bahwa membengkaknya jumlah orang miskin yang berpenghasilan di bawah dua dolar sehari adalah pengkhianatan terhadap keadilan. Fakta bahwa sistem perdagangan internasional yang sepertinya bebas dan imparsial tak menghilangkan kenyataan bahwa semua itu hanya menguntungkan negara kaya dan perusahaan serta profesional yang mempunyai segala sumber daya. Dalam kompetisi yang jauh dari apple to apple, maka yang kuatlah yang akan menang. Di sini kita bicara tentang equality of opportunity, yang melahirkan apa yang disebut survival of the fittest.
Di berbagai negara Amerika Latin dan Afrika, kita menemukan perdebatan yang cukup tajam dan menghasilkan beberapa perubahan. Sebagian orang mengatakan bahwa suatu koreksi terhadap sistem ekonomi pasar tengah berlangsung dengan munculnya apa yang disebut sebagai neososialisme. Artikulasi yang mencuat dari retorika orang, seperti Chavez dan Morales, secara terbuka menguakkan ketidakpuasan terhadap hegemoni sistem ekonomi pasar yang menyengsarakan rakyat. Seminasionalisasi terhadap berbagai industri tambang seperti ingin membuktikan bahwa ada alternatif yang lebih baik, yang lebih memberikan keuntungan bagi rakyat banyak. Yang menarik adalah artikulasi ini mendapat dukungan luas dari rakyat, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan suatu revolusi sunyi sudah mulai menjelma sebagai suatu tantangan terbuka. Dalam skala yang terbatas kita mulai melihat perlawanan yang terbangun di berbagai negara akan ketidakadilan global, yang tak akan pernah bisa dijungkirbalikkan kalau kita tetap manut pada sistem ekonomi pasar tersebut.
"Nice Boy"
Saya tak terlalu paham bahwa di negeri tercinta ini perdebatan itu tak terlalu terasa. Kalaupun ada suara yang terganggu dengan sistem ekonomi pasar ini, suara itu terdengar rada sayup-sayup. Suatu pertengkaran ideologi berlangsung dalam skala amat kecil, sehingga tak menimbulkan dampak signifikan. Atau memang di negeri ini, kita semua sudah jadi tawanan dari sistem ekonomi pasar, yang tak kuasa lagi untuk dibendung. Atau kita memang secara sadar sebagai 'nice boy' yang ingin masuk pada klub pasar bebas?
Terus terang saya memang mulai gerah dengan politik kepentingan yang dominan di masyarakat kita, khususnya masyarakat politik. Lihat saja semua partai politik. Hampir tak ada perbedaan ideologi. Oposisi pun tampaknya hanya karena alasan-alasan personal antara elite partai. Sampai hari ini, saya tak melihat platform yang jelas dalam bertarung menuju Pemilu 2009. Dan kalau kita melihat apa yang terjadi di daerah dalam pemilihan bupati dan gubernur, maka kita akan malu melihat partai-partai pada mengutamakan 'kepentingan' daripada 'prinsip', lebih mengutamakan 'kekuasaan' ketimbang 'paradigma'.
Tidak heran jika kita melihat partai Islam bergandengan tangan dengan partai nasionalis (sekuler) dan partai Kristen. Koalisi di daerah tergantung pada kondisi daerah, bukan kepada pertemuan prinsip dan program. Oleh karena itu, kita akan sering menemukan koalisi yang kelihatannya aneh, tapi nyata.
Krisis keuangan global, sekarang, juga tak mengusik partai politik kita. Sepertinya ini adalah krisis akibat kelalaian dan lemahnya governance. Memang, krisis keuangan global ini adalah juga crisis of governance, tetapi ada yang lebih mendasar di balik itu, yaitu kegagalan atau disfungsi dari sistem ekonomi pasar itu sendiri.
Alfred Gusenbaur, Kanselir Austria, menulis artikel yang bagus di New Strait Times (9 October 2008), yang mengkritik neo-liberalisme secara tajam. Dalam artikel yang berjudul Lessons learnt from the US financial crisis itu, Gusenbaur mengatakan, dalam sistem ekonomi pasar bebas yang akan diuntungkan adalah orang-orang kaya, sehingga bukan mustahil bahwa susu yang dibutuhkan oleh bayi untuk pertumbuhan dirinya tak bisa dimilikinya. Sebaliknya, yang bisa memiliki susu itu adalah anjing peliharaan Rockefeller yang kaya raya itu. Pendapat yang dikutip dari tulisan Paul Samuelson ini disimpulkannya dengan mengatakan bahwa dalam sistem ekonomi pasar there is no room for a social conscience.
Buat Gusenbaur, sistem ekonomi pasar jika dibiarkan bebas cepat atau lambat akan merusak dirinya. Ketimbang mengatur (regulate) dirinya, sistem ekonomi pasar malah akan merusak (destroy) dirinya. Inilah juga yang dikatakan oleh Alan Greenspan, mantan penguasa keuangan dan proponen pasar bebas Amerika terkemuka, yang selama ini tak sudi mencampuri pasar.
Krisis keuangan, sekarang, yang berawal dari pailitnya banyak lembaga keuangan karena sub-prime loan dan berbagai transaksi keuangan lainnya, tak lain dan tak bukan adalah karena pasar yang seharusnya melakukan koreksi terhadap disfungsi dan kelemahannya justru gagal. Dan bukan hanya gagal, malah melakukan perusakan yang luar biasa.
Greenspan mengatakan, dirinya gagal memahami kekuatan destruktif dari sistem ekonomi pasar. Hal ini dikatakannya ketika memberikan keterangan kepada Parlemen Amerika (Kongres) yang meminta pertanggungjawabannya.
Atas dasar itu, Gusenbaur mengatakan, ada dua hal yang mutlak dilakukan yaitu, pertama, pasar memerlukan pengaturan yang jelas. Usulan ini berarti akan ada regulasi, yang artinya campur tangan negara. Kalau tak ada pengaturan, maka penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya akan terjadi dan merugikan rakyat. Lihatlah para CEO perusahaan multinasional yang menerima gaji dan bonus ratusan juta dolar per tahun. Ini kan suatu abuse of power, suatu pelanggaran terhadap rasa keadilan.
Kedua, menurut Gusenbaur, perlunya institusi welfare state mendapat penguatan. Krisis keuangan ini menunjukkan kepada kita bahwa kebutuhan elementer rakyat tak boleh digantungkan pada spekulasi dan volatilitas pasar modal. Di sini perluasan pembelanjaan untuk pensiun hari tua, kesehatan, pendidikan, misalnya, menjadi sangat krusial. Kita tak boleh menomorduakan kewajiban negara ini. Di sini Gusenbaur bukannya menolak sistem ekonomi pasar, tetapi mengingatkan bahwa dia menghendaki sistem ekonomi pasar yang dianut haruslah memberikan porsi lebih besar kepada kesejahteraan rakyat, meski untuk itu negara harus berperan banyak. Di Eropa, sistem ini disebut sebagai sistem ekonomi pasar sosial (social market economy).
Indonesia harus juga bersikap lebih tegas dan berani. Indonesia tak boleh menjadi anak manis yang terus menerus didikte. Di Amerika, sekalipun kita mulai melihat perdebatan ini, karena kelihatannya intervensi negara yang selama ini diharamkan, akan mulai dibengkakkan oleh pemerintahan Obama.
Kita tak usah malu untuk berpikir ulang, dan saya kira dengan demokrasi yang sudah mulai berjalan ini pemerintah punya kewajiban lebih besar pertama-tama dan terutama kepada rakyat. Demikian juga partai politik. Sudah waktunya energi kita tak dihabiskan semata-mata untuk kepentingan pragmatisme ekonomi dan pragmatisme politik. Negara ini tak boleh menjadi Negara Pragmatis.
Penulis adalah Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
SPD | |
|