Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Kendalikan Impor Bahan Pangan Fri Nov 28, 2008 3:40 pm | |
| Kendalikan Impor Bahan Pangan [JAKARTA] Pemerintah diminta segera membenahi manajemen dan mengeluarkan kebijakan yang propeningkatan produksi pangan dalam negeri, serta mengendalikan dan secara bertahap menghentikan impor. Kebergantungan pada impor bahan pangan, seperti kedelai, jagung, dan gandum sangat berbahaya untuk ketahanan pangan nasional.
Demikian rangkuman pendapat pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Andi Irawan, pengusaha Anton J Supit, dan Wakil Ketua Komisi IV DPR Suswono yang dihimpun SP, Kamis (27/11).
Andi Irawan yang juga dosen di Universitas Bengkulu itu menegaskan, kebergantungan pada impor dipastikan menguras devisa. Padahal, dananya bisa digunakan untuk meningkatkan produksi pangan di dalam negeri, termasuk manajemen pengelolaan pascapanen yang selalu menjadi masalah.
Krisis global saat ini seharusnya mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menguatkan kemandirian pangan.
Anton J Supit yang juga menjabat Ketua Gabungan Pengusaha Perunggasan Indonesia (Gappi) mengatakan industri perunggasan terpaksa mengimpor sekitar 1 juta ton bungkil kedelai untuk pakan ternak karena pasokan dari dalam negeri tidak cukup.
Menurutnya, tingkat pertumbuhan kedelai di negara subtropis sangat tinggi, sehingga pasokan terjamin dan harganya bisa murah. Sedangkan, suplai jagung tidak konsisten, antara lain karena masalah pergudangan dan kualitas. Padahal, ungkap Anton, industri perunggasan sangat bergantung pada suplai pakan dari jagung.
Dia mengakui produksi jagung dalam negeri sudah cukup, tetapi terkendala distribusi dan produksi yang tidak merata. Misalnya, pada tiga bulan pertama (Januari-Maret), produksi jagung bisa mencapai 5 juta ton, sedangkan kebutuhan perusahaan ternak hanya 900.000 ton. Industri tidak bisa menampung semua hasil produksi, sehingga diperlukan manajemen pergudangan dan pengeringan.
Ubah Paradigma
Pada kesempatan itu, Suswono, Andi, dan Anton mendesak pemerintah dan masyarakat mengubah paradigma tentang tepung yang harus berasal dari gandum. Padahal, tepung untuk bahan baku mi, roti, kue, dan lainnya, bisa dibuat dari beras, jagung, ubi, singkong, dan sagu. Hampir 100 persen gandum harus diimpor dan selama ini pemerintah membiarkannya.
Terkait hal itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franky Welirang menyatakan industri dalam negeri harus didorong untuk memproduksi bahan pangan yang masih diimpor.
Franky menyebutkan, jumlah impor gandum tahun 2008 mencapai 4 juta ton dengan harga antara US$ 450 dan US$ 500. Sedangkan harga pada tahun 2009 diperkirakan akan turun kurang lebih 40 persen atau menjadi sekitar US$ 300. Indonesia mengimpor gandum dari Australia, Amerika Serikat, Kanada, Argentina, dan negara-negara Eropa Timur.
"Ke depan, impor masih tetap tumbuh karena penduduk juga tumbuh. Oleh sebab itu, perlu didorong agar industri dalam negeri penghasil barang-barang konsumsi bisa tumbuh agar devisa tidak terbuang percuma," katanya.
Sementara itu, berdasarkan pantauan SP, harga terigu dan jagung impor di Jakarta telah naik. Harga terigu impor naik sejak awal November 2008, dari Rp 6.750 menjadi Rp 7.000 per kilogram. "Baru dua minggu harganya kami naikkan," kata M Yatim, pedagang di Pasar Jatinegara, Jakarta. Harga tepung jagung yang diimpor dari Korea juga naik, dari Rp 6.500 menjadi Rp 7.250.
Sedangkan, harga bungkil kedelai sekarang US$ 355 per ton. Harga berfluktuatif, antara lain bergantung pada iklim, stok, dan tingkat penawaran serta permintaan. Harga bungkil kedelai impor pernah mencapai US$ 550 per ton. Bungkil kedelai diimpor dari AS dan Brasil. [S-26/DMP/EMS/A-16]
SPD | |
|