INILAH.COM, Jakarta – Negara-negara Arab diuntungkan secara ekonomi oleh agresi Israel terhadap Palestina. Pasalnya, negara-negara kawasan itu mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia akibat agresi itu. Jika hipotesis ini benar, sungguh teganya!
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Ikhsan Modjo, mengatakan negara Arab tidak mungkin menghentikan suplai minyak mereka ke AS sebagai bentuk protes atas serangan Israel ke Palestina. Pasalnya, negara-negara Arab diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia akibat agresi tersebut.
Karena itu, Mesir, Suriah, Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya tidak berkutik terkait agresi tersebut seiring kepentingannya terhadap kenaikan harga minyak dunia. “Jadi, kasihan juga orang Palestina itu,” papar Ikhsan Modjo, kepada INILAH.COM, di Jakarta, kemarin. Bahkan, Mesir yang merupakan tetangga Palestina menutup perbatasannya dengan Palestina.
Ikhsan mencurigai, jangan-jangan agresi ini benar-benar merupakan rekayasa Amerika agar harga minyak dunia naik lagi. Pasalnya, pengusaha-pengusaha minyak seven sister semuanya milik Amerika. ”Jadi, Amerika termasuk yang diuntungkan juga dari agresi ini secara ekonomi,” ujarnya.
Agresi ini akan berakibat pada harga minyak dunia yang naik. Selain itu, agresi juga akan menyebabkan kegelisahan politik dan ekonomi. “Padahal sekarang kita harapkan harga minyak dunia turun,” katanya.
Jika agresi Israel terhadap Palestina tidak segera dihentikan, harga minyak dunia akan melompat ke US$ 60 hingga US$ 70 per barel. Saat ini, harga minyak hampir mencapai US$ 50 per barel.
Harga minyak mentah dunia kembali melonjak merapat ke level US$ 50 per barel, Senin (5/1). Misalnya, minyak jenis brent, harganya berada di kisaran US$ 49,36 per barel. Sementara harga minyak jenis light sweet berada di kisaran US$ 46,36 per barel.
Sejauh ini, lanjut Modjo, alasan menyerang Palestina adalah agar Israel tidak lagi diserang Hamas. Tapi, jika dilihat lebih spesifik yaitu kepentingan ekonomi maka tidak ada alasan lain yang bisa dibaca kecuali untuk menguntungkan pengusaha-pengusaha produsen minyak itu.
AS sendiri sejauh ini juga menyalahkan Hamas sehingga terindikasi bahwa aksi Israel ini merupakan agenda Presiden George Bush. Presiden AS yang akan digantikan Barack Obama ini berasal dari Texas yang merupakan markas besar produsen-produsen minyak. “Jadi ini kebijakan Bush, kapan lagi mumpung belum resmi berhenti jadi presiden,” tegasnya.
Meski pesimis, Modjo berharap agresi Israel itu bisa berhenti sebelum 20 Januari 2009 di saat Barack Obama resmi menjadi Presiden AS dan diambil sumpahnya. Namun menurutnya, siapapun presidennya, sangat sulit bagi AS untuk menepis kepentingan Israel. Pasalnya, lobi Israel di Gedung Putih sangat kuat.
Sedangkan implikasinya ke Indonesia secara ekonomi, Modjo mengatakan, selain harga minyak yang tinggi juga akan mempersulit upaya stabilitas makro pada saat krisis ini. Selain itu, bisa juga berakibat pada naiknya kembali harga BBM domestik.
”Jadi penurunan BBM kembali yang direncanakan pada 15 Januari bisa tertunda. Bisa malah nggak jadi,” tukasnya.
Analis BCA David Sumual mengungkapkan, geopolitik di Timur Tengah menuruntya memang memberikan sentimennya bagi penguatan harga minyak. Tapi permintaan minyak dunia yang riil adalah stock filling dari dua negara besar yakni China dan AS.
AS misalnya terus melakukan stock filling hingga cadangan minyak mereka yang biasanya hanya 500 juta barel saat ini mencapai mencapai 700 juta barel. Mereka terus membeli minyak ketika harganya sedang murah. Akibatnya, pembelian itu ikut mengerek harga minyak dunia lambat laun mulai menguat.
Di atas semua itu, mekanisme harga minyak sangat sensitif dengan geopolitik yang terjadi di Timur Tengah. Invasi Israel terhadap wilayah Palestina dianggap bisa memicu stabilitas pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah. Namun, jika negara-negara Arab benar-benar menari di atas darah Palestina, sungguh terlalu! [E1]