[JAKARTA] Fenomena rising star seperti yang terjadi pada Pilpres 2004 dengan kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mungkin terulang lagi pada Pilpres 2009. Fakta-fakta politik sejauh ini, termasuk perdebatan RUU Pilpres soal syarat dukungan capres yang berkisar antara 15-30 persen kursi di DPR, menyulitkan munculnya tokoh baru yang bisa bersaing dengan nama-nama lama, seperti SBY dan Megawati Soekarnoputri. Demikian rangkuman pendapat sejumlah pengamat dan praktisi politik yang dihubungi secara terpisah oleh SP, Rabu (24/9) dan Kamis (25/9).
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, pada Pilpres 2009 tak ada figur baru yang bisa diidolakan menjadi capres. Dengan kondisi itu, pertarungan memperebutkan kursi presiden pada 2009 akan jauh lebih ketat dibandingkan 2004. "Pada Pilpres 2004, SBY mampu menjadi rising star atau idola baru. Namun, pada 2009, tampaknya belum ada idola baru, sehingga peluang SBY ataupun Megawati sangat besar," katanya.
Menurut Qodari, nama lain yang berpeluang mendekati popularitas Megawati dan SBY adalah Wiranto dan Sri Sultan Hamengku Buwono X . "Namun, peluang Wiranto menjadi presiden masih harus diuji dengan perolehan suara partainya (Partai Hanura) di pemilu legislatif. Sedangkan Sri Sultan, sampai saat ini belum juga secara terbuka menyatakan kesediaannya dicalonkan, baik sebagai capres maupun cawapres," ujarnya.
Untuk Partai Golkar, sejauh ini belum ada tokoh yang bisa diunggulkan menjadi capres. Popularitas Jusuf Kalla, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh, masih jauh di bawah Megawati dan SBY.
Kendati begitu, lanjut Qodari, untuk posisi cawapres figur Jusuf Kalla menempati urutan tertinggi, bersaing dengan Sri Sultan dan Hidayat Nur Wahid. "Berdasarkan survei Indo Barometer yang terakhir pada Juni lalu, Jusuf Kalla menempati peringkat paling tinggi untuk menjadi cawapres," ungkapnya.
Sangat Tipis
Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendy Gazali juga melihat bahwa kemungkinan tampilnya sosok idola baru pada bursa capres 2009 sangat tipis, terutama dalam menghadapi sosok lama, seperti SBY dan Megawati.
Ia menilai, kemunculan bintang baru capres ini sangat bergantung pada dua hal. Pertama, muncul secara kebetulan atau dianggap paling baik karena pemilih berada dalam kebingungan untuk memilih siapa. "SBY dulu, 70 persennya ke arah itu saat dipilih. Ketika itu pemilih bingung untuk memilih dan mencari tokoh alternatif. Sosok ini (SBY, Red) berusaha menjadi yang terbaik dan kemudian dianggap yang paling oke," ujarnya.
Kedua, ada rekayasa sosial. Mereka (capres) idola baru diwacanakan sehingga dikenal publik. Contohnya, melalui tayangan iklan capres, seperti yang dilakukan Soetrisno Bachir dan Prabowo Subianto. Iklan di televisi ini dijadikan peluang yang bisa mengarahkan ke konteks pewacanaan calon. "Namun, komunikasi politik mereka masih belum terstruktur dengan baik," ujarnya.
Effendy berpendapat, kalau nantinya syarat pengajuan capres mengerucut menjadi 20 persen, sekitar 4 hingga 5 pasang calon bisa melaju. Tiga posisi teratas masih diduduki SBY, Megawati, dan kemungkinan Partai Gerindra yang menggandeng partai-partai lain untuk memajukan capres.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mudjani menegaskan, kemunculan figur baru dipastikan akan terganjal syarat pengajuan capres. Apalagi dalam pembahasan RUU Pilpres, hingga kini belum ada kesepakatan batas pencalonan tersebut. "Kalau pun syarat pengajuan capres menjadi 15 persen dipastikan yang bisa maju terbatas. Apalagi dinaikkan, seperti usulan Partai Golkar sebesar 30 persen. Syarat ini jelas akan membatasi munculnya figur baru," katanya.
Figur lama, ujarnya, tetap berpeluang besar dan kuat menjadi capres. SBY dan Megawati tentunya berada dalam posisi itu. Lagi pula, sosok-sosok yang serius melakukan kerja politik baru ada di figur-figur lama tersebut. Bahkan, dua nama lain yang muncul dan disebut-sebut sebagai capres, yakni Wiranto dan Prabowo, tetap wajah lama.
Saiful menyayangkan Sri Sultan yang belum juga memperlihatkan kesungguhan maju. Menurutnya, Sultan masih dianggap sebagai tokoh yang tidak bisa mengakomodasi sistem politik modern yang terbuka.
Jika memang syarat pengajuan capres berada di kisaran 20 persen, dia memperkirakan tampilnya empat pasang capres-cawapres.
Mengenai peluang jika SBY kembali menggandeng JK, baginya pasangan ini di mata pemilih masih berpeluang besar untuk dipilih. Meskipun dalam kabinetnya, belakangan ini, ada menteri yang berindikasi melanggar hukum. Namun, duet ini masih bisa mengontrolnya. "Kembalinya pasangan ini melaju di Pilpres 2009 sangat tergantung dari apakah SBY masih memandang penting pasangannya tersebut. Ini terkait dari evaluasi yang akan dilakukan SBY. Namun bisa saja berubah karena tekanan elite Golkar yang ingin punya capres sendiri," jelasnya.
Tokoh nasional Siswono Yudo Husodo juga sependapat bahwa syarat dukungan capres yang sangat tinggi menutup peluang munculnya kandidat-kandidat yang lebih baik. Rakyat tidak punya banyak pilihan, sehingga tidak mungkin muncul rising star, seperti Pilpres 2004.
"Dengan syarat dukungan 15 sampai 30 persen kursi di DPR, maka bisa-bisa yang akan muncul hanya SBY dan Mega saja. Seharusnya parpol kita belajar dari AS yang bisa melahirkan seorang Obama, kendati dia bukan seorang pengurus parpol," katanya.
Siswono melihat bahwa parpol cenderung menutup peluang bagi tokoh-tokoh terbaik bangsa untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Kebanyakan parpol hanya mencalonkan ketuanya untuk menjadi kandidat, padahal di luar partai, masih ada begitu banyak putra terbaik bangsa yang layak dimajukan sebagai capres dan cawapres.
Selaras dengan Siswono, guru besar ilmu politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf mengatakan, tidak munculnya tokoh baru dalam persaingan capres 2009 karena partai politik (parpol) gagal melahirkan kader-kader baru kepemimpinan nasional. [128/ASR/A-21]