Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Arah Energi Migas Nasional Mon Dec 15, 2008 5:43 pm | |
| Arah Energi Migas Nasional Oleh Pakar Migas ITB Rudi Rubiandini RS
Asumsi produksi minyak tahun 2009 sebanyak 960.000 barel per hari (bph) pada tahun depan, dapat diartikan bahwa pemerintah mematok skenario pesimistis dan konservatif.
Kita ingat fluktuasi target produksi minyak tahun 2008, yang semula sebesar 1,03 juta bph, turun menjadi 927.000 bph, kemudian ditambah minyak swap sebesar 50.000 bph, sehingga total menjadi 977.000 bph.
Memang dalam empat tahun terakhir, hampir setiap target tidak pernah tercapai. Artinya, kita terbiasa dengan rencana yang optimistis, tetapi tidak disertai usaha yang maksimal, sehingga selalu keteter.
Namun, saat ini sebaliknya sikap yang diterapkan adalah pesimistis, tetapi justru tidak cocok dengan kondisi sebenarnya yang ada di lapangan.
Hal ini kemungkinan disebabkan pemerintah tidak mau lagi
tercoreng muka seperti tahun-tahun lalu, dengan merendahkan target, dengan harapan nantinya akan mendapat apresiasi.
Di sisi industri hilir migas yang sangat dekat hubungannya dengan bahan bakar minyak (BBM), pemerintah justru masih kurang tegar membawa bangsa Indonesia pada kemandirian energi.
Indikatornya, keberpihakan masih diberikan pada BBM, seperti masih adanya subsidi pada produk premium, solar, dan minyak tanah. Padahal, sudah saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan pada sumber energi alternatif dan bahan bakar nabati (BBN).
Proyeksi Produksi
Kecenderungan turunnya produksi minyak dari lapangan migas, adalah suatu yang alamiah, sehingga para ahli sampai memiliki rumus yang dikenal dengan istilah Decline Curve Analysis (DCA).
Namun, manusia memiliki kiat dan cara untuk menahan penurunannya agar tidak drastis, malah bisa dipertahankan konstan, atau untuk beberapa daerah tertentu justru ditingkatkan.
Caranya, misalnya menambah sumur produksi, menerapkan teknologi tinggi Enhanced Oil Recovery, bahkan mengembangkan teknologi pengeboran yang canggih, seperti horizontal drilling, extended reach drilling, dan sebagainya.
Akan tetapi, kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan dana yang tidak sedikit, sehingga akan menguras modal yang cukup besar. Kita bisa melihat, belanja industri migas sejak 2002 terus bertambah dari sekitar US$ 3 miliar menjadi US$ 9 miliar pada 2007.
Investasi besar tersebut tentu tidak serta-merta langsung memberi manfaat. Sebab, perlu waktu untuk membuat persiapan, kemudian eksekusi, dan memerlukan waktu respons alam terhadap kegiatan teknologi tersebut, sehingga hasilnya baru dirasakan 4-5 tahun kemudian.
Sekarang adalah saatnya untuk menuai. Terbukti, dari laporan yang kita simak, bahwa produksi rata-rata tahun 2008 hingga November lalu mencapai 980.000 bph, di atas produksi tahun 2007.
Ini merupakan sebuah prestasi dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, maupun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bidang migas, yang telah mampu bukan hanya memperlambat penurunan produksi, atau mempertahankan produksi konstan, akan tetapi justru meningkatkan produksi.
Bila kita analisis dari penurunan atau kenaikan produksi minyak antara tahun berjalan dengan tahun sebelumnya, memang sejak 2003 turun 8,4 persen, begitu seterusnya, walaupun faktor penurunan tersebut mengecil. Analisis sederhana tersebut memberi harapan pada kita, bahwa adanya kenaikan produksi 2,7 persen pada 2008, menunjukkan efek investasi mulai memberikan hasil, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk pesimistis.
Bila menggunakan asumsi kenaikan sebesar 2,0 persen saja pada 2009, kita akan mampu mencapai produksi hingga 1 juta bph. Jumlah ini sebenarnya tidaklah fantastis, dan dapat dicapai dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah terhadap KKKS, serta dukungan birokrasi yang lebih cepat dan akurat.
Pada 2009, dengan mulai berproduksinya Lapangan Cepu, tentu kenaikan akan sangat signifikan bisa mencapai 5-10 persen. Dengan demikian, produksi 1,1 juta bph sudah di tangan.
Keseimbangan Harga Minyak
Bila menilik sejarah, harga minyak terendah pernah dicapai pada Desember 1998, yakni US$ 9,1 per barel, dan sepanjang tahun tersebut hanya berkisar US$ 10-US$ 20 per barel. Selanjutnya, sepanjang 1999 secara perlahan harga meningkat.
Terjadilah keseimbangan harga baru, yaitu di kisaran US$ 20-US$ 30 per barel selama empat tahun, dari 2000 sampai 2004. Lantas meningkat perlahan sepanjang tahun 2005. Dengan tren itu, seharusnya harga keseimbangan baru di kisaran US$ 40-US$ 60 per barel bisa terjadi setidaknya sampai 2011. Akan tetapi terjadi anomali pada 2008, di mana harga melambung hingga melampaui US$ 140 per barel, walaupun dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Hal ini lebih disebabkan intervensi pemegang saham kelas dunia yang panik, yang menggunakan minyak beserta emas sebagai instrumen investasi. Namun, seiring dengan krisis keuangan, harga minyak pulih ke kisaran US$ 40-US$ 60 par barel.
Melihat apa yang terjadi saat ini, akan sangat sulit harga minyak kembali di atas US$ 60 par barel, karena produksi akan segera digenjot oleh produsen, ketika harga minyak di atas US$ 50 per barel. Demikian halnya, akan sulit harga minyak terus meluncur ke level di bawah US$ 40 par barel, karena diperlukan peningkatan produksi yang luar biasa, efisiensi penggunaan energi yang sangat ketat hingga mengembalikan kebutuhan energi seperti tahun 2000.
Alihkan Subsidi
Dengan perkembangan harga minyak tersebut, pemerintah menyiapkan subsidi, yang diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan energinya secara terjangkau. Hal itu mengingat pendapatan masyarakat kita pada umumnya masih rendah. Namun, kenyataannya BBM bersubsidi dikonsumsi golongan masyarakat yang cukup mampu. Pada akhirnya, subsidi BBM menjadi beban APBN yang menahun.
Di sisi lain, 85 persen pemenuhan energi nasional masih ditanggung sektor migas. Sedangkan batu bara baru mendukung 9 persen, tenaga air 5 persen, dan panas bumi hanya 1 persen. Lebih ironis lagi, sumber energi alternatif, seperti BBN atau biofuel, tenaga angin, dan tenaga matahari, masih di bawah 1 persen.
Melihat peta tersebut, ada kesalahan yang sangat mendasar dalam kebijakan subsidi pemerintah. Kuat kesan bahwa pemerintah justru mendorong BBM terus digunakan masyarakat, dan menekan energi alternatif untuk berkembang.
Karena terus-menerus BBM mendapatkan subsidi, energi alternatif menjadi sulit bersaing. Hal itu terbukti pada energi panas bumi, yang selama 20 tahun terakhir tidak mampu berkembang dan menyaingi BBM, karena secara keekonomian selalu kalah oleh BBM yang disubsidi. Nasib serupa juga dialami sumber energi alternatif lain yang masih dalam taraf pengembangan, seperti BBN, matahari, angin, dan mikrohidro. Sumber-sumber alternatif itu tak akan bisa sejajar atau meningkat mengejar penggunaan BBM, selama kebijakan pemerintah masih berpihak pada BBM.
Kini sebetulnya saat yang tepat untuk memindahkan subsidi dari BBM ke energi alternatif. Dengan demikian, dalam kurun 5-10 tahun ke depan, ketahanan energi nasional dapat terjamin, karena energi alternatif yang melimpah ruah di bumi Nusantara dapat berperan dengan nyata.
Dengan harga minyak yang kini di kisaran US$ 40-US$ 50 per barel, dan nilai tukar Rp 10.000-Rp 11.000 per dolar AS, harga premium tanpa subsidi bisa berkisar Rp 5.200-5.500 per liter. Sementara itu, solar dan minyak tanah sedikit lebih mahal.
Apabila pemerintah memiliki keinginan yang kuat menata energi nasional di masa yang akan datang, seyogyanya BBM dilepaskan dari subsidi, dan mengikuti harga pasar yang berlaku.
Biaya subsidi yang sudah ada di APBN selanjutnya dialihkan untuk menyubsidi energi alternatif, sehingga bisnis dan industri energi alternatif tumbuh dengan sendirinya karena secara keekonomian menjadi atraktif. Dampak lanjutannya, kesadaran masyarakat sedikit demi sedikit akan terpola untuk mengurangi energi dari BBM, beralih ke energi alternatif.
Harus diakui, sebagian masyarakat ada yang menuding pemerintah melepas tanggung jawab dengan melempar harga BBM sesuai harga pasar. Tudingan itu tidak benar. Sebab, pemerintah tetap memberikan subsidi, akan tetapi dipindahkan ke energi alternatif.
Jika langkah itu ditempuh, efek domino berupa penghematan energi oleh masyarakat dengan sendirinya akan terjadi.
Masyarakat sebaiknya menerima kenyataan bahwa harga premium tetap di kisaran Rp 5.200-Rp 5.500 per liter. Karena, bersamaan dengan itu, energi alternatif yang melimpah ruah di Nusantara ini akan termanfaatkan. * SPD, 15 Des 2008 | |
|