Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Para Jenderal Saling Jegal Tue Feb 03, 2009 11:14 pm | |
| Para Jenderal Saling Jegal SBY Capres Teratas [JAKARTA] Figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai merupakan kandidat teratas capres dari kalangan mantan petinggi militer. Sebagai incumbent (yang sedang memegang jabatan), nama SBY masih lebih unggul dibandingkan empat purnawirawan TNI lainnya yang telah mendeklarasikan diri sebagai capres dalam pilpres mendatang, yakni Prabowo Subianto, Wiranto, Sutiyoso, dan M Yasin.
Demikian, pandangan Direktur Eksekutif Indobarometer, M Qodari, dan pakar politik Syamsudin Haris, secara terpisah di Jakarta, Senin (2/2) dan Selasa (3/2). Mereka menanggapi memanasnya rivalitas di antara purnawirawan TNI menjelang pilpres, terutama setelah Presiden Yudhoyono melontarkan sinyalemen adanya petinggi TNI AD yang menggalang gerakan ABS (asal bukan capres berinisial "S") pekan lalu.
Menurut Qodari, peluang kandidat capres dari mantan petinggi militer selain SBY, belum bisa dipastikan bisa melampaui sang incumbent. "Prabowo dan Wiranto, misalnya, belum teruji partainya, meskipun Wiranto pernah menjabat sebagai Panglima TNI, dan Prabowo punya militansi kuat. Jadi, peluang capres berlatar belakang militer masih dimenangi SBY," kata Qodari.
Pandangannya tersebut juga merujuk sejumlah survei politik, yang menempatkan SBY di atas kandidat purnawirawan TNI lainnya. "Yang harus disadari pula, kekuatan masyarakat untuk memilih masih mengacu kepada figur, bukan semata-mata latar belakang," katanya.
Oleh karena itu, figur SBY dan Megawati Soekarnoputri akan bersaing ketat. Namun, lanjut Qodari, tak tertutup kemungkinan konstelasi politik ini dapat berubah setelah pemilu legislatif.
"Kecenderungan itu bisa saja menguat, seiring penggalangan poros alternatif di luar blok S (SBY) atau blok M (Megawati). Poros ini sayangnya masih tercerai berai. Ketika nantinya Partai Golkar berani maju dengan capres dari internal partai, bukan tidak mungkin akan melahirkan konstelasi baru," ujarnya.
Sementara itu, Syamsudin melihat, peluang capres berlatar belakang militer sebenarnya sama kuat. "Tapi popularitas SBY sebagai capres belum dapat dikalahkan oleh kandidat yang lain," katanya.
Hal itu, antara lain faktor SBY sebagai incumbent, sehingga masyarakat sudah dapat menilai dan merasakan hasil konkret dalam lima tahun masa kepresidenannya. "Sementara Prabowo dan Wiranto, misalnya, masih sebatas janji-janji politik melalui iklan di media," jelasnya.
Faksionalisasi di TNI
Secara terpisah, pakar politik dari Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens menilai, eskalasi rivalitas tak bisa dimungkiri menguatkan faksionalisasi aliran politik yang secara laten sudah terbangun di dalam institusi TNI. "Jika secara hukum tidak bisa dibuktikan, tetapi hal itu bisa dibaca secara kritis," jelasnya.
Namun, dia mengingatkan, jika para purnawirawan bersaing di pilpres, mereka harus menggunakan paradigma sipil bukan militer. "Dengan demikian, aspek militer yang memang harus dijaga netralitasnya bisa diabaikan, dan membangun serta mempraktikkan demokrasi," katanya, Senin (2/2).
Senada dengan Qodari, menurut Boni, dikotomi sipil dan militer sebenarnya hanya isu elitis, yang dipahami kelompok terdidik dan aktivis prodemokrasi. Sebagian besar masyarakat pemilih tidak terpengaruh. "Sekitar 73 persen pemilih tidak terpengaruh dengan dikotomi itu. Mereka lebih menekankan kekuatan figur," katanya.
Komentar hampir senada dinyatakan Ketua Umum DPP Ketua Umum DPP Persatuan Purnawirawan TNI/ Polri (Pepabri), Agum Gumelar. Menurutnya, faksionalisasi aspirasi politik akan muncul hanya di lingkungan purnawirawan militer. Hal itu terkait dengan perbedaan dukungan kepada para mantan petinggi militer yang maju menjadi capres.
Kondisi tersebut tercermin dari sejumlah purnawirawan TNI yang kini tersebar menjadi tim sukses kandidat capres berlatar belakang militer.
Tak Pengaruhi Netralitas
Namun, Agum menegaskan, secara kelembagaan, netralitas TNI tidak akan terpengaruh oleh rivalitas para purnawirawan. "Ini sudah ditegaskan melalui perintah Panglima TNI dan masing-masing kepala staf yang memerintahkan agar semua prajurit TNI tetap netral menghadapi pemilu. Saya merasa yakin, perintah itu bentuk dari netralitas TNI dan Polri," tegasnya.
Senada dengan itu, pengamat militer dari UI, Edi Prasetyono menilai, rivalitas yang ketat antarmantan petinggi militer menjelang pilpres, tidak memengaruhi lembaga TNI. Hal itu disebabkan adanya pengawasan dari internal dan eksternal.
"Dari internal sendiri, banyak anggota TNI yang tidak mau diberi hak pilih. Kalau dari sisi eksternal, kontrol dari masyarakat, UU, dan hukum sudah sangat kuat," ujarnya.
Menurutnya, TNI saat ini sudah sangat netral. Untuk membuktikannya, mereka bahkan mengeluarkan pedoman atau pemikiran yang menyatakan pelarangan kampanye di lingkungan mereka dalam bentuk apa pun.
Sementara itu, menurut pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Ichlasul Amal, munculnya capres purnawirawan tidak otomatis mencerminkan perpecahan di tubuh TNI. Sebab, merujuk amendemen UU Pemilu, anggota TNI aktif diharuskan netral dan itu sudah terbukti pada Pemilu 2004.
Demikian juga peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Lambang Triono melihat, anggota TNI aktif saat ini sudah mampu membuktikan sikap apolitisnya dan profesionalisme dalam mengemban tugas.
"Jadi tidak bisa dijadikan patokan adanya perpecahan di tubuh TNI dan Polri jika hanya melihat dari calon presiden yang muncul dari (mantan petinggi) TNI," ujarnya. [J-11/ASR/LOV/M-16/152]
Suara pembaruan,03 Feb 09 | |
|