Admin Admin
Jumlah posting : 2244 Registration date : 31.08.08
| Subyek: Dialog Membuka Titik Temu Fri Nov 07, 2008 8:52 pm | |
| Dialog Membuka Titik Temu Benny Susetyo Pr Dialog antara kalangan Kristen dan Muslim yang diselenggarakan oleh Vatikan, baru-baru ini, menandai era baru dalam mewujudkan perdamaian sejati di antara dua komunitas besar umat beragama itu. Pertemuan ini merupakan panggilan untuk menyelamatkan dunia dari ancaman kerusakan global akibat krisis finansial. Krisis akibat ketamakan manusia yang menghamba pada uang. Krisis yang membuat ratusan juta orang terkena dampak akibat permainan uang semata-mata.
Dialog ini diharapkan membuka lembaran baru bagaimana agama mampu memberikan sumbangan bagi perdamaian dunia. Dialog yang diikuti 24 rohaniwan Katolik dan 24 rohaniwan Islam di Vatikan itu dalam upaya melenyapkan ketegangan diantara kedua agama yang berasal dari Timur Tengah ini. "Cinta Tuhan dan Cinta Sesama" menjadi tema forum pertama Katolik-Islam ini. Topik pembicaraan seputar akar serumpun kedua agama, martabat manusia, dan pentingnya saling menghormati.
Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari pidato Paus Benediktus XVI pada September 2006 di Universitas Regensburg, Jerman. Salah satu reaksi moderat yang menonjol adalah surat terbuka kepada Paus dan pemimpin nasrani. Surat itu ditandatangani 38 rohaniwan muslim moderat dan berjudul "Kata Bersama Anda dan Kami."
Menurut penyelenggara, sasaran utama dari pertemuan tertutup ini adalah agar para pemuka Katolik dan Islam bisa bebas berbicara tentang masalah yang mereka anggap sebagai hambatan.
Banyak urusan yang peka atau sensitif, dan diharapkan pertemuan ini bisa lebih membebaskan pesertanya berbicara tentang apa pun yang dianggap mengganjal.
Kapitalisme Global
Dialog dibutuhkan dunia, yang saat ini menghadapi berbagai macam persoalan. Dialog amat penting dilakukan dalam menghadapi keangkuhan kapitalisme global, yang sering mereduksi isu kemanusiaan dan ketika kemanusiaan tidak lagi melekat sebagai cara pandang utama negara maju dalam melihat negara miskin. Kini, dibutuhkan cara pandang baru mengenai manusia. Manusia bukanlah semata-mata alat ekonomi/produksi, juga harus diperlakukan dalam segala aspeknya. Kemanusiaan adalah paradigma dasar bagi kebersamaan untuk mengembangkan keharmonisan antara maju-terbelakang, miskin-kaya, mayoritas-minoritas, serta tertindas-penguasa. Dalam kemanusiaan itu, manusia mampu menemukan akar kebersamaan sejati.
Kemanusiaan pula yang akan menjadi dasar dalam membangun dialog antaragama, yang sering mudah diucapkan, tapi sulit direalisasikan. Dialog antaraagama akan berkembang dan menemukan tujuannya yang tepat bila orientasinya terarah pada problem kemanusiaan yang dihadapi manusia saat ini.
Pada abad komunikasi ini, dunia mengalami pergeseran orientasi nyata, ketika nilai-nilai kebersamaan bergerak secara revolusioner menuju individualisme. Perubahan ini berakibat orientasi kemanusiaan semakin menipis. Masyarakat cenderung hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, agama, dan kelompoknya sendiri. Dapat ditebak pasti, kecenderungan ini dikhawatirkan menguatkan sentimen pribadi, keagamaan, dan kesukuan.
Kenyataan itu membuat dialog antaragama sulit menjawab persoalan-persoalan global, seperti hancurnya peradaban manusia. Hancurnya peradaban itu menyebabkan manusia semakin terasing dari dirinya, dan lingkungan sekitar. Lingkungan hidup tidak lagi menjadi tempat tinggal yang damai, karena tanah, air, dan udara mulai tercemar oleh limbah fisik sampai nonfisik.
Persaudaraan tidak lagi menjadi bagian hidup dalam menjalin relasi dengan sesama. Relasi hanya ditentukan oleh transaksi uang dan kekuasaan. Siapa kuat ia menang, persis ketika zaman manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Keadilan
Kalangan agamawan tidak bisa tinggal diam dan terus berperan mencegah krisis global. Selain itu, menegaskan keberpihakan kepada kaum lemah. Globalisasi telah membuat yang lemah kian tersingkir. Globalisasi telah menjadi agama baru manusia modern. Seolah-olah tidak ada yang bisa menolak. Seolah-olah harus dipandang sebagai keniscayaan. Jika memang demikian, bagaimana agama berperan melindungi kaum miskin yang pasti hancur akibat globalisasi ini?
Globalisasi bisa membawa kemajuan bila di dalamnya terdapat keadilan dan cinta kasih. Namun, jika diorientasikan semata-mata untuk perolehan keuntungan dan persaingan, serta penghambaan buta kepada uang, maka globalisasi akan menjadi malapetaka, karena hilang aspek keadilannya.
Ini tugas agama secara bersama-sama untuk memikirkan kembali tugas barunya, yakni menjawab persoalan yang dihadapi demi menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran.
Agama harus bersatu untuk memikirkan alternatif baru membangun tata dunia baru. Tata dunia yang ada sekarang adalah tata dunia ketidakadilan dan eksploitasi. Tata dunia seperti inilah yang membuat radikalisme agama akan muncul.
Radikalisme hanya dapat diatasi bila agama bersatu untuk merumuskan etika bersama. Etika itu menyangkut nila-nilai kebersamaan yang orientasinya adalah memberdayakan kaum miskin dan tertindas. Kemiskinan itulah musuh bersama kaum beragama. Kemiskinan itulah yang membuat kemanusiaan tak berdaya menghadapi persaingan dunia.
Di sini, agama dituntut untuk mengubah wajahnya bukan lagi doktrinal, yang sibuk dengan klaim kebenaran. Agama harus mengubah wajahnya menjadi lebih profetis terhadap persoalan kehidupan manusia yang kompleks.
Pengakuan ini penting demi terwujudnya dunia yang baru tanpa prasangka buruk terhadap yang lain. Cita-cita inilah yang seharusnya dijadikan titik temu dalam membangun kebersamaan. Hans Kung mengatakan, tiada perdamaian sejati tanpa perdamaian di dalam agama itu sendiri. Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI SP | |
|